Sabtu, 24 Desember 2011

Hukum Penelitian


Hukum Penelitian

Ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial dalam berkembangannya tidak terlepas dari  kegiatan  penelitian. Dalam Penelitian  hukum,  calon  peneliti  terlebih  dahulu  harus mampu  menentukan  kerangka  konsepsional  dan  kerangka  teoretis.  Dalam  kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai  dasar  penelitian  hukum,  dan  di  dalam  landasan/kerangka  teoretis  diuraikan segala  sesuatu  yang  terdapat  dalam  teori  sebagai  suatu  sistem  ajaran  (leerstelling).

Kerangka Konsepsional  yang digunakan dalam penelitian hukum  meliputi:
1.      masyarakat hukum
2.      subyek hukum
3.      hak dan kewajiban
4.      peristiwa hukum
5.      hubungan hukum 
6.      objek hukum

Penelitian  hukum  dikelompokkan  dalam  dua  bagian  yaitu  penelitian  normatif  dan penelitian yang menelusuri kenyataan hukum di tengah masyarakat. Sasaran Penelitian hukum normatif  diarahkan  untuk menganalisis  hubungan-hubungan  hukum  antar  satu peraturan dengan  peraturan  lainnya,  tingkat  sinkronisasi  hukum  baik  vertikal maupun horisontal termasuk  penelusuran  asas-asas  hukum.  Pada  penelitian  yang menelusuri  kenyataan  hukum di  tengah masyarakat  (yuridis  empiris)  objeknya  adalah  perjanjian,  penegakan hukum, hukum yang hidup dalam masyarakat.

  Penelitian Hukum
1.      Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang    dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten (Soerjono Soekanto)
2.      Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang  bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan
3.      Penelitian hukum tidak akan mungkin dipisahkan dari disiplin hukum maupun ilmu-ilmu hukum
4.      Penelitian hukum dapat dibedakan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empirisPenelitian Penelitian Hukum
a)      Penelitian hukum normatif merupakan kegiatan sehari- hari seorang sarjana hukum
b)      Penelitian hukum yang normatif (legal research)  biasanya “hanya” merupakan studi dokumen, yakni menggunakan sumber-sumber data sekunder saja yang  berupa peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan pendapat para sarjana. Itu pula sebabnya digunakan analisis secara kualitatif (normatif-kualitatif)  karena datanya bersifat kualitatif.
c)      Penelitian hukum yang normatif dapat berupa inventarisasi hukum positif, usaha-usaha penemuan asas-asas dasar falsafah (doktrin) hukum positif, usaha penemuan hukum (in concreto) yang sesuai untuk diterapkan guna penyelesaian perkara tertentu

 Sumber Masalah Penelitian
Dalam  setiap  penelitian,  calon  peneliti  harus  dapat  mengidentifikasi  masalah  yang hendak  diteliti.  Penentuan  permasalahan  dalam  penelitian  mencirikan  bahwa  adanya  proses pemecahan  masalah  melalui  mekanisme  tertentu.  Pada  sebagian  kenyataan pada peneliti pemula adalah kelemahan dalam mengidentifikasi masalah yang berbobot metodologis. Pada penelitian hukum, tidak semua masalah-masalah kemasyarakatan dapat dijadikan  masalah dalam penelitian. Masalah yang dirumuskan dalam penelitian hanya peristiwa-peristiwa hukum  jika kategori penelitian yuridis empiris dan bukan peristiwa sosial yang tidak  mengancam  terlindungi  tidaknya  kepentingan  manusia.  Peristiwa  Y  berdiri  di  tempat  pengisian  BBM adalah  peristiwa  sosial  biasa,  dan  akan  berubah  sebagai  peristiwa  hukum  apabila  Y  berdiri  sambil  merokok  di  tempat  pengisian  BBM  serta menyebabkan  tempat  pengisian  BBM  terbakar.  Pada  pendekatan  penelitian  yuridis normatif  masalah  penelitian  terfokus pada  ada  tidaknya  pengaturan  atau  munculnya konflik sistem hukum pada objek pengaturan  tertentu. Sumber masalah dengan hanya menunjuk adanya aturan dalam ketentuan tertentu bukanlah masalah yang metodologis karena dapat dibaca melalui bahannya tanpa melakukan penelitian. Misalnya, penelitian yang  hendak  menelusuri  alat-alat  bukti  dalam  KUHAP  bukanlah  kegiatan  penelitian, tetapi akan berubah menjadi masalah  yang metodologis apabila berubah  rumusannya pada persoalan pengaruh penggunaan alat bukti surat seperti dalam korban kekerasan seksual.Beberapa  persiapan  yang  dibutuhkan  dalam  merumuskan  permasalahan  yang metodologis  terutama kemampuan dalam penguasaan dasar  teoretik pada objek yang  hendak diteliti(bahan hukum yang tersedia). Calon peneliti  tidak  akan  mampu mengidentifikasi  permasalahan  bila  tidak  dapat  membedakan  peristiwa  hukum  atau bukan,  atau  tidak  mampu  mengindentifikasi  masalah  sosial  yang  berdampak  pada terancamnya kepentingan manusia.

Persiapan Pelaksanaan Penelitian 
Beberapa hal yang penting setelah calon peneliti mampu mengidentifikasi masalah yaitu menyangkut evaluasi teknis penyelenggaraan meliputi:
1.      Menarik
Bahwa topik penelitian yang akan diajukan menarik bagi si pengusul.  Jika  menarik  maka akan termotivasi untuk melakukan penelitian dan diharapkan dapat menghasilkan penelitian yang terbaik.
2.      Bermanfaat
Suatu  penelitian  diharapkan  memberikan  manfaat  yang  berarti  terutama terhadap ilmu pengetahuan, peningkatan perlindungan hukum bagi manusia. 
3.      Hal yang baru
Penelitian  diharapkan  mengahasilkan  sesuatu  yang  baru  dan  bukan pengulangan dari penelitian terdahulu. 
4.      Dapat dilaksanakan
Sangat  penting  untuk  memastikan  bahwa  penelitian  yang  akan  dilakukan terhadap  permasalahan  dapat  terlaksana  dengan  baik. 

Etika Penelitian

Etika Dalam Penelitian

Kode etik penelitian kedokteran yang diberi nama Nuremberg Code, pada awalnya dibentuk sebagai akibat dari berbagai percobaan tidak berperikemanusiaan oleh para dokter NAZI terhadap para tahanan Perang Dunia II. Salah satu yang penting dalam kode tersebut adalah keharusan adanya persetujuan informed consent dari orang sebagai subyek penelitian. Pada tahun 1964, World Medical Association dalam sidangnya yang ke 18 telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang dituangkan ke dalam Deklarasi Helsinki I. Baik dalam NeurenbergCode maupun dalam Deklarasi Helsinki I, para peneliti dihimbau untuk memperhatikan dan mematuhi peraturan-peraturan penelitian yang disetujui bersama. Peneliti harus dapat membuat keputusan sendiri apakah penelitiannya menyimpang atau tidak dari norma etik yang telah digariskan. Karena tidak ada pengawasan maka banyak penelitian yang dirasakan masih menyimpang dari norma-norma kode etik. Untuk menghindari hal tersebut di atas maka pada tahun 1975 dalam World Health Assembly ke 20 di Tokyo telah dibuat Deklarasi Helsinki II sebagai hasil revisi dari Deklarasi HelsinkiI. Perubahan yang penting adalah adanya peraturan yang mengharuskan semua protokol penelitian yang menyangkut manusia, harus ditinjau dahulu oleh suatu Komisi khusus untuk dipertimbangkan, diberi komentar dan mendapatkan pengarahan (consideration, comments and guidance). Selain itu pada protokol juga harus dicantumkan adanya pertimbangan etik. Deklarasi tersebut telah disempurnakan kembali oleh World MedicalAssembly, tahun 1983 di Venesia, tahun 1985 di Hongkong dan di Edinburg, Scotland tahun 2000. Di Indonesia standar etik penelitian kesehatan yang melibatkan manusia sebagai subyek didasarkan pada azas perikemanusiaan yang merupakan salah satu dasar falsafah bangsa Indonesia, Pancasila. Hal tersebut kemudian diatur dalam UU Kesehatan no 23/ 1992 dan lebih lanjut diatur dalam PP no 39/ 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Dalam Bab IV diuraikan tentang perlindungan dan hak-hak manusia sebagai subyek penelitian dan sanksi bila penyelenggaraan penelitian melanggar ketentuan dalam PP tersebut. Dengan demikian semua penelitian yang menyangkut manusia harus didasari oleh moral dan etika Pancasila, disamping pedoman etik penelitian yang telah disetujui secara internasional. Adalah menjadi kewajiban kita semua bahwa penelitian yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmiah, moral dan etika yang berdasarkan Ketuhanan dan Perikemanusiaan.


 Prinsip-prinsip Etika Penelitian Ilmiah
Etika berasal dari bahasan Yunani ethos. Istilah etika bila ditinjau dari aspek etimologismemiliki makna kebiasaan dan peraturan perilaku yang berlaku dalam masyarakat.Menurut pandangan Sastrapratedja (2004), etika dalam konteks filsafat merupakan refleksi filsafati atas moralitas masyarakat sehingga etika disebut pula sebagai filsafat moral. Etika membantu manusia untuk melihat secara kritis moralitas yang dihayati masyarakat, etika juga membantu kita untuk merumuskan pedoman etis yang lebih adekuat dan norma-norma baru yang dibutuhkan karena adanya perubahan yang dinamis dalam tata kehidupan masyarakat.Sedangkan etika dalam ranah penelitian lebih menunjuk pada prinsip-prinsip etis yang diterapkan dalam kegiatan penelitian. Peneliti dalam melaksanakan seluruh kegiatan penelitian harus memegang teguh sikap ilmiah (scientific attitude) serta menggunakan prinsip-prinsip etika penelitian. Meskipun intervensi yang dilakukan dalam penelitian tidak memiliki risiko yang dapat merugikan atau membahayakan subyek penelitian, namun peneliti perlu mempertimbangkan aspek sosioetika dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan.

Etika penelitian memiliki berbagai macam prinsip namun terdapat empat prinsip utama yang perlu dipahami oleh pembaca, yaitu:
1.      Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity).Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subyek untuk mendapatkan informasiyang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasanmenentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatanpenelitian (autonomy). Beberapa tindakan yang terkait dengan prinsip menghormatiharkat dan martabat manusia adalahpeneliti mempersiapkan formulir persetujuansubyek (informed consent) yang terdiri dari:
a)      penjelasan manfaat penelitian.
b)      penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang dapatditimbulkan.
c)      penjelasan manfaat yang akan didapatkan.
d)     persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukansubyek berkaitan dengan prosedur penelitian.
e)      persetujuan subyek dapat mengundurkan diri kapan saja.
f)       jaminan anonimitas dan kerahasiaan.
Namun kadangkala, formulir persetujuan subyek tidak cukup memberikan proteksi bagi subyek itu sendiri terutama untuk penelitian-penelitian klinik karena terdapat perbedaan pengetahuan dan otoritas antara peneliti dengan subyek Kelemahan tersebut dapat diantisipasi dengan adanya prosedur penelitian
.
2.      Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy andconfidentiality.Setiap manusia memiliki hak-hak dasar individu termasuk privasi dankebebasan individu. Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat terbukanyainformasi individu termasuk informasi yang bersifat pribadi. Sedangkan, tidaksemua orang menginginkan informasinya diketahui oleh orang lain, sehinggapeneliti perlu memperhatikan hak-hak dasar individu tersebut. Dalam aplikasinya,peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas baik nama maupunalamat asal subyek dalam kuesioner dan alat ukur apapun untuk menjagaanonimitas dan kerahasiaan identitas subyek. Peneliti dapat menggunakan koding(inisial atau identification number) sebagai pengganti identitas responden.

3.      Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness).Prinsip keadilan memiliki konotasi keterbukaan dan adil. Untukmemenuhi prinsip keterbukaan, penelitian dilakukan secara jujur, hati hati,profesional,berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-faktor ketepatan,keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis serta perasaan religius subyekpenelitian. Lingkungan penelitian dikondisikan agar memenuhi prinsip keterbukaanyaitu kejelasan prosedur penelitian. Keadilan memiliki bermacam-macam teori,namun yang terpenting adalah bagaimanakah keuntungan dan beban harusdidistribusikan di antara anggota kelompok masyarakat. Prinsip keadilanmenekankan sejauh mana kebijakan penelitian membagikan keuntungan dan bebansecara merata atau menurut kebutuhan, kemampuan, kontribusi dan pilihan bebasmasyarakat. Sebagai contoh dalam prosedur penelitian, peneliti mempertimbangkanaspek keadilan gender dan hak subyek untuk mendapatkan perlakuan yang samabaik sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi dalam penelitian.

4.      Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms andbenefits) (Milton, 1999; Loiselle, Profetto-McGrath, Polit & Beck, 2004).Peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian gunamendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi subyek penelitiandan dapat digeneralisasikan di tingkat populasi (beneficence). Penelitimeminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek (nonmaleficence). Apabilaintervensi penelitian berpotensi mengakibatkan cedera atau stres tambahan makasubyek dikeluarkan dari kegiatan penelitian untuk mencegah terjadinya cedera,kesakitan, stres, maupun kematian subyek penelitian.

  Penelitian Yang Membutuhkan Ethical Clearance

Pada dasarnya seluruh penelitian/riset yang menggunakan manusia sebagai subyekpenelitian harus mendapatkan Ethical Clearance, baik penelitian yang melakukan pengambilan spesimen, ataupun yang tidak melakukan pengambilan spesimen. Penelitian/riset yang dimaksud adalah penelitian biomedik yang mencakup riset pada farmasetik, alat kesehatan, radiasi dan pemotretan,prosedur bedah,rekam medis,sampel biologik,serta penelitian epidemiologik, sosial dan psikososial.

 Susunan Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbangkes
Salah satu tugas pokok Badan Litbangkes adalah menyelenggarakan penelitian danpengembangan kesehatan untuk menunjang program Departemen Kesehatan. Untuk itu dalam rangka perlindungan manusia sebagai subyek penelitian dan pengembangan kesehatan, sejak tahun 1991 dibentuk “Panitia Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbangkes” berdasarkan SK Kepala Badan Litbangkes No. 04/BPPK/AK/1/1991. Panitia tersebut bertugas melakukan review usulan penelitian kesehatan yang memerlukan surat izin etik (ethical clearance), selanjutnya sejak tahun 2001 disebut sebagai Komisi Etik Badan Litbangkes. Susunan anggota bersifat multidisiplin yaitu adanya anggota dari berbagai bidang ilmu kelompok medis/ klinis maupun dari kelompok non-medis antara lain dari bidang hukum, sosialbudaya yang terkait, dari kelompok yang peduli terhadap kepentingan masyarakat dan dari kelompok awam (layperson). Komposisi keanggotaan mempertimbangkan juga keseimbangan usia dan gender; adanya perbedaan latar belakang, sosial-budaya dan agama yang dapat mempengaruhi sudut pandang.

Susunan Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbangkes terdiri atas:
1.      Penasehat,
2.      Ketua
3.      Sekretaris
4.      Anggota
5.      Sekretariat
Untuk kegiatan kesekretariatan dibantu oleh beberapa staf dari Sekretariat Badan Litbangkes. Komisi Etik ini disahkan dengan surat keputusan Kepala Badan Litbangkes yangditinjau/diperbaharui setiap tahunnya.

  Tanggung Jawab dan Tugas Komisi Etik Penelitian Kesehatan

Komisi Etik membahas usulan-usulan penelitin biomedis yang menggunakan manusiasebagai subyek penelitian, baik untuk kegiatan penelitian yang dilakukan oleh unit-unit penelitian di lingkungan Badan Litbangkes, ataupun kegiatan penelitian yang dimonitor oleh Badan Litbangkes. Komisi etik akan bertemu secara rutin minimum sekali setiap bulannya untuk membahas usulan penelitian yang memerlukan ethical clearance , baik yang telah dikeluarkan (pada bulan tersebut : ethical review dilakukan oleh 2 – 3 orang anggota Komisi Etik) maupun yang memerlukan pengambilan keputusan oleh sebagain besar anggota Komisi Etik (bagi kasuskasus tertentu yang memerlukan pertimbangan / review oleh lebih dari 3 orang anggota  (kasus berat). Persetujuan ethical clearance diambil berdasarkan suara terbanyak dari anggota yang hadir dalam rapat tersebut. Rapat dianggap sah jika dihadiri minimal setengah jumlah anggota ditambah 1 orang. Semua penelitian yang sedang berjalan di tiap Puslitbang, yang telah mendapatkan ethical clearance dari Komisi Etik Badan Litbangkes, akan dipantau oleh anggota Komisi Etik yang ada di Puslitbang bersangkutan dan akan direview paling sedikit satu kali setiap tahun dan mungkin frekuensi review bertambah bila dianggap perlu oleh Komisi karena keadaan darurat. Ketua Komisi Etik bertanggung jawab atas jalannya rapat pertemuan Komisi. Jalannya rapat serta hasil rapat pertemuan akan dicatat oleh sekretaris pertemuan yang merupakan seorang staf atau petugas dari Sekretariat Badan Litbangkes. Sekretaris tersebut juga menerima laporan penelitian selama penelitian sedang berjalan sampai penelitian selesai. Rapat pertemuan Komisi Etik dihadiri oleh seluruh anggota Komisi Etik, para peneliti yang penelitiannya akan dibahas (jika perlu), dan dapat pula dihadiri oleh ahli-ahli tertentu yang diundang untuk memberi pandangan sebagai nara sumber, tetapi yang mempunyai hak suara untuk memberikan keputusan hanya anggota Komisi Etik. Anggota Komisi Etik tidak terlibat dalam salah satu usulan penelitian yang akan dibicarakan. Jika salah satu anggota secara langsung atau tidak langsung terlibat dengan suatu usulan penelitian, maka anggota tersebut tidak berhak memberikan suara (abstain) dalam pemungutan suara mengenai usulan penelitian yang bersangkutan.

Komisi Etik mempunyai tugas :
1.      Melakukan review dari protokol penelitian yang akan dibahas dengan benar sesuaiketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
2.      Membahas hasil review
3.      Meneliti isi informed consent (persetujuan bagi subyek penelitian) beserta naskahpenjelasan untuk mendapatkan persetujuan dari subyek penelitian.
4.      Memberikan ethical clearance untuk semua penelitian yang memerlukannya.
5.      Mengevaluasi pelaksanaan penelitian yang terkait dengan etik
6.      Menghadiri rapat rutin Komisi Etik setiap bulannya dan pada waktu-waktu tertentu yangdianggap perlu.

Tugas sekretariat Komisi Etik :
1.      Menerima berkas usulan/pengajuan Ethical Clearance dan memeriksa kelengkapanberkas usulan tersebut, lalu mencatat hasilnya pada form check list.
2.      Bertanggung jawab dalam kegiatan surat menyurat yang berhubungan dengankegiatan Etika Penelitian Kesehatan di Badan Litbangkes
3.      Bertanggung jawab dalam pengarsipan usulan penelitian yang mengajukan ethicalclearance mulai dari masuknya ke Badan Litbangkes, selama proses di Komisi Etik,review ulangan jika penelitian itu berjalan lebih dari setahun
4.      Mengurus penyelenggaraan rapat dan pertemuan Komisi Etik.
5.      Sebagai fasilitator antara peneliti dan anggota Komisi Etik.
6.      Membuat laporan tentang kegiatan Komisi Etik, termasuk laporan tertulis dari setiaprapat/pertemuan Komisi Etik (Notulen)laporan triwulan kegiatan komisi etik(berikut rekapitulasi ethical clearance yang telah dikeluarkan).

  Pengajuan Ethical Clearance
Usulan ethical clearance diserahkan kepada sekretariat Komisi Etik Penelitian Kesehatan. Kelengkapan berkas terdiri dari :
1.      Surat usulan dari institusi
2.      Protokol penelitian
3.      Daftar tim peneliti
4.      CV peneliti utama
5.      Surat persetujuan pelaksanaan penelitian dari scientific board (PPI)
6.      Informed Consent (formulir persetujuan keikutsertaan dalam penel
7.      Ethical Clearance dari institusi lain (bila ada)
8.      Kuesioner / pedoman wawancara (bila ada)

  Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Penilaian Ftik Penelitian Kesehatan
1.      Surat usulan dari institusitempat peneliti bekerja, bila usulan berasal dari luar institusiBadan Litbangkes yang memiliki Komisi Etik Institusi, maka usulan harus berasal dariKomisi etik institusi tersebut (bukan dari peneliti utama/pimpinan insitusi)
2.      Surat rekomendasi dari Panitia Pembina Ilmiah.
3.      Protokol penelitianmeliputi tujuan dan manfaat, metodologi yang menjelaskan secaraterperinci mengenai : tata cara pengambilan sample (darah/urine/spesimen lainnya),tujuan pemeriksaan, intervensi yang diberikan, serta manfaat bagi responden (bila ada ujiklinik/ pengambilan sample), jumlah biaya yang diperlukan dalam penelitian tersebut.
4.      Daftar tim peneliti beserta keahliannya
5.      Curriculum vitae peneliti utama atau Ketua Pelaksana untuk melihat apakahkemampuan peneliti utama atau ketua pelaksana sudah sesuai dengan apa yang akandikerjakan.
6.      Keterangan pembiayaan untuk melihat apakah sudah etis bila suatu penelitian dilihatdari jumlah biaya dan hasil yang akan didapat.
7.      Ethical clearance dari institusi lain (bila ada).
8.      Penjelasan dan Informed Consentdalam 1 lembar / tidak terpisahIzin atau persetujaundari subyek penelitian untuk turut berpartisipasi dalampenelitian, dalam bentuk tulisan yang ditandatangani atau tidak ditandatangani oleh subyek dansaksinya, disebut informed consent.Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam suatu informed consent adalah sebagaiberikut :
a)      Kesediaan subyek untuk secara sukarela bersedia berpartisipasi dalam penelitian itu,termasuk penelitian eksperimen.
b)      Penjelasan tentang penelitian.
c)      Pernyataan tentang berapa lama subyek penelitian perlu berpartisipasi dalam penelitian
d)     Gambaran tentang apa yang akan dilakukan terhadap subyek penelitian, sebagai pesertasukarela penelitian. Setiap prosedur eksperimental perlu dijelaskan.
e)      Gambaran mengenai resiko dan rasa tidak enak yang mungkin dialami subyek, jikasubyek berpartisipasi dalam penelitian.
f)       Gambaran tentang keuntungan atau ganti rugi bagi subyek, jika subyek berpartisipasidalam penelitian ini.
g)      Informasi mengenai pengobatan dan alternatif lain yang akan diberikan kepada subyek,jika subyek mengalami resiko dalam penelitian.
h)      Gambaran tentang terjaminnya rahasia biodata dan hasil pemeriksaan medis sunyek.
i)        Penjelasan mengenai pengobatan medis dan ganti rugi yang akan diberikan kepadasubyek, jika subyek mengalami masalah yang berhubungan dengan penelitian.
j)        Nama jelas dan alamat berserta nomor telepon yang lengkap, kepada siapa calon subyekdapat menanyakan tentang masalah kesehatan yang mungkin muncul berkaitan denganpenelitian tersebut.
k)      Pengertian partisipasi dalam penelitian haruslah sukarela, bahwa subyek dapatmemutuskan untuk meninggalkan penelitian tanpa dirugikan, bahwa apabila ia bersediaberpartisipasi kemudian sesudah jangka waktu tertentu ia meninggalkan penelitian, iabebas pergi tanpa ada sanksinya.
l)        Jumlah subyek penelitian yang akan turut serta dalam penelitian dan lokasi penelitianakan dilaksanakan.
m)    Subyek akan diberitahukan jika terjadi problem yang membahayakan subyek dalampenelitian tersebut

Studi Cross-Sectional

Studi Cross-sectional
           
            Dalam penelitian kedokteran dan kesehatan, studi cross-sectionalmerupakan suatu bentuk studi observasional (non-eksperimental) yang paling sering dilakukan. Kira-kira sepertiga artikel orisinal dalam jurnal kedokteran merupakan laporan studi cross-sectional. Dalam arti yang luas, studi cross-sectional mencangkup semua jenis penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada saat itu. Studi seperti dapat hanya bersifat deskriptif, misalnya penentuan nilai normal. Ia juga dapat merupakan studi analitik, misalnya studi perbandingan antara kadar asam urat pada manula yang normal dan yang gemuk, atau studi kolerasi antara skor kebugaran tertentu dengan kadar kolesterol. Dengan perkataan lain, penelitian yang pengukurannya dilakukan hanya satu kali, disebut studi cross-sectional. Dalam studi cross-sectional, variabel independen atau faktor resiko dan tergantung (efek) dinilai secara simultan pada satu saat; jadi tidak ada follow-up pada studi cross-sectional. Dengan studi cross-sectional diperoleh prevalens penyakit dalam populasi pada suatu saat; oleh karena itu studi cross-sectional disebut pula sebagai studi prevalens(prevalence studi). Studi prevalens tidak hanya digunakan untuk perencanaan kesehatan, akan tetapi juga dapat digunakan sebagai studi etiologi.
            Hasil pengamatan cross-sectional untuk mengidentifikasi faktor risiko ini kemudian disusun dalam tabel 2x2. Untuk desain seperti ini biasanya yang dihitung adalah rasio prevalens, yakni perbandingan antara prevales suatu penyakit atau efek pada subyek kelompok yang mempunyai faktor risiko, dengan prevalens penyakit atau efek pada subyek yang tidak mempunyai faktor risiko. Rasio prevalens menunjukkan peran faktor risiko dalam terjadinya efek pada studi cross-sectional.

  Langkah-langkah Pada Studi Cross-sectional
1.      Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis yang sesuia
2.      Mengidentifikasi variabel bebas dan tergantung
3.      Menetapkan subyek penelitian
4.      Melaksanakan pengukuran
5.      Melakukan analisis

1)      Merumuskan Pertanyaan dan Hipotesis yang sesuai
Pertanyaan penelitian yang akan dijawab harus dikemukakan dengan jelas, dan dirumuskan hipotesis yang sesuai. Dalam studi cross-sectional analitik hendaklah dikemukakan hubungan antar variabel yang diteliti. Misalnya pertanyaan yang akan dijawab adalah apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan orangtua dengan kejadian enuresis pada anaknya.

Pengukuran faktor risiko dan efek dilakukan sekaligus









 







Gambar 7-1.Struktur studi cross-sectional menilai peran factor risiko dan terjadinya efek. Faktor risiko dan efek diperiksa pada saat yang sama.

dan terjadinya efek. Faktor risiko dan efek diperiksa pada saat yang sama


Efek
Faktor risiko

Ya
Tidak
Jumlah
Ya
Tidak
A
C
B
d
a+b
c+d
Jumlah
a+b
b+d
a+b+c+d

Gambar 7-2. Tabel 2 x 2 menunjukkan hasil cross-sectional
          a = subyek dengan faktor risiko yang mengalami efek
          b = subyek dengan faktor risiko yang tidak mengalami efek
          c = subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek
          d = subyek tanpa faktor risiko yang tidak mengalami efek
Rasio prevalens = prevalens pada kelompok dengan risiko dibagi prevalens efek pada kelompok tanpa risiko. RP = a/(a+b) : c/(c+d)
(Sastroasmoro dan Ismael,2011)


2)      Mengidentifikasi Variabel Penelitian
Semua variabel dalam studi prevalens harus diidentifikasi dengan cermat.Untuk ini ditetapkan definisi operasional yang jelas mana yang termasuk faktor risiko yang diteliti (variabel independen), faktor risiko yang tidak diteliti, serta efek yang dipelajari (variabel dependen).Factor yang mungkin merupakan risiko namun tidak diteliti perlu diidentifikasi, agar dapat disingkirkan atau paling tidak dikurangi pada waktu pemilihan subyek penelitian.

3)      Menetapkan Subyek Penelitian
Menetapkan populasi penelitia.Bergantung kepada tujuan penelitian, maka ditentukan dari populasi-terjangkau mana subyek penelitian yang akan dipilih, apakah dari rumah sakit/fasilitas kesehatan, ataukah dari masyarakat umum. Salah satu yang harus diperhatikan dalam penentuan populasi terjangkau penelitian adalah besarnya kemungkinan untuk memperoleh faktor risiko yang diteliti. Pada studi cross-sectional mengenai infeksi HIV/AIDS, populasi yang dipilih hendaklah kelompok subyek terjangkit oleh virus ini,  misalnya kaum homoseks atau penyalahgunaan narkotik. Bila subyek dipilih dari populasi umum, maka kemungkinan untuk memperoleh subyek dengan HIV menjadi amat sangat kecil, sehingga diperlukan jumlah subyek yang sangat besar
Menentukan sampel dan memperkirakan besar sampel.Besar sampel diperkirakan dengan formula yang sesuai.Berdasarkan perkiraan prevalens kelainan, dapat ditentukan apakah seluruh subyek dalam populasi-terjangkau tersebut. Penetapan besar sampel untuk penelitian cross-sectional yang mencari rasio prevalens sama dengan penetapan besar sampel untuk studi kohort yang mencari risiiko relatif.

4)      Melaksanakan Pengukuran
Pengukuran faktor risiko. Penetapan faktor risiko dapat dilakukan dengan berbagai cara , bergantung pada sifat factor risiko. Pengukuran dapat dilakukan dengan kuisioner, rekam medis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan fisik, atau prosedur khusus.Bila faktor risiko diperoleh dengan wawancara, mungkin diperoleh informasi yang tidak akurat atau tidak lengkap, yang merupakan keterbatasan studi ini. Karena itu maka jenis studi ini lebih tepat untuk mengukur faktor-faktor risiko yang tidak berubah.(variabel atribut), misalnya golongan darah, jenis kelamin, atau HLA.
Pengukuran efek (penyakit).Terdapatnya efek atau penyakit tertentu dapat ditentukan dengan kuisioner, pemeriksaan fisik, atau pemeriksaan khusus, bergantung pada karateristik penyakit yang dipelajari. Cara apa pun yang dipergunakan, harus ditetapkan kriteri diagnosisnya dengan batasan operasional yang jelas. Harus selalu diingat hal-hal yang akan mengurangi validitas penelitian, termasuk yang tidak ingat akan timbulnya suatu penyakit yang timbul secara perlahan-lahan. Untuk penyakit yang mempunyai eksaserbasi atau remisi, penting untuk menanyai subbyek, apakah pernah mengalami gejala tersebut sebelumnya.

5)      Melakukan Analisis
Analisis hubungan atau perbedaan prevalens antar kelompok yang diteliti dilakukan setelah dilakukan validasi dan pengelompokan data.Analisis ini dapat berupa suatu uji hipotesis ataupun analisis untuk memperoleh risiko relatif.Hal yang terakhir inilah yang sering dihitung dalam studi cross-sectional untuk mengidentifikasi factor risiko.Yang dimaksud dengan risiko relatif pada studi cross-sectional adalah perbandingan antara prevalens penyakit (efek) pada kelompok dengan risiko, dengan prevalens efek pada kelompok tanpa risiko. Pada studi cross-sectional ini, risiko relatif yang diperoleh bukan risiko relatif  yang murni. Risiko relatif yang murni hanya dapat diperoleh dengan penelitian kohort, dengan membandingkan insidens penyakit pada kelompok dengan risiko dengan insidens penyakit pada kelompok tanpa risiko.
Pada studi cross-sectional, estimasi risiko relatif dinyatakan dengan rasio prevalens (RP), yakni perbandingan antara jumlah subyek dengan penyakit (lama dan Baru) pada satu saat dengan seluruh subyek yang ada. RP dihitung dengan cara sederhana, yakni dengan menggunakan table 2x2 .

  Kelebihan Penelitian cross-sectional
1.      Keuntungan yang utama desain cross-sectional adalah desain ini relatif mudah, murah, dan hasilnya cepat dapat diperoleh.
2.      Memungkinkan penggunaan populasi dari masyarakat umum, tidak hanya pasien yang mencari pengobatan, dengan demikian maka generalisasinya cukup memadai.
3.      Dapat dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus.
4.      Jarang terancam loss to follow-up (drop out)
5.      Dapat dimasukkan ke dalam tahapan pertamasuatu penelitian kohort atau eksperimen, tanpa atau dengan sedikit menambah biaya.
6.      Dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat lebih konklusif. Misalnya suatu laporan cross-sectional  tentang hubungan antara HDL kolesterol dan konsumsi alkohol dapat merupakan dasar studi kohort.(atau uji klinis) untuk dapat memastikan adanya hubungan sebab akibat.

  Kekurangan Penelitian Cross-sectional
1.      Sulit untuk menentukan sebab akibat dan karena pengambilan data risiko dan efek dilakukan pada satu saat yang bersamaan (temporal relationship). Akibatnya seringkali tidak mungkin ditentukan mana penyebab dan mana akibat. Misalnya hubungan kausal antara diare dan malnutrisi tidak dapat ditentukan pada studi pravelens, karena diare kronik dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi, sebaliknya malnutrisi juga dapat menyebabkan sindrom malabsorbsi dengan gejala diare kronik.
2.      Studi prevalens lebih banyak menjaring subyek dengan masa sakit yang panjang dari pada yang mempunyai masa sakit pendek, karena individu yang cepat sembuh atau cepat meninggal mempunyai kesempatan yang lebih kecil untuk terjaring. Bila karakteristik pasien yang cepat sembuh atau yang meninggal berbeda dengan yang mempunyai masa sakit panjang, dapat terjadi bias, yakni salah interpretasi penelitian.
3.      Dibutuhkan jumlah subyek yang cukup banyak, terutama bila variabel yang dipelajari banyak.
4.      Tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insidens, maupun prognosis.
5.      Tidak praktis untuk meneliti kasus yang sangat jarang, misalnya kanker lambung, Karena pada populasi usia 45-59 tahundiperlukan paling tidak 10.000 subyek untuk mendapatkan satu kasus. Kekurangan ini sebagian dapat diatasi dengan cara memilih populasi dari daerah yang endemik/kelompok risiko tinggi daripada memilih populasi umum.
6.      Mungkin terjadi bias prevalens atau bias insidens karena efek faktor risiko selama periode tertentu dapat disalah tafsirkan sebagai efek penyakit. Misalnya pada rancangan penelitian cross-sectional didapatkan frekuensi HLA-A2 yang tinggi pada pasien leukemia limfositik akut (LLA), memberikesan bahwa pasien dengan HLA-A2 mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita LLA. Namun dalam penelitian ini yang dilakukan kemudian terbukti bahwa HLA-A2 justru memiliki prognosis yang baik, yakni umur pasien lebih panjang; akibatnya, pasien LLA dengan HLA-A2 dijumpai lebih banyak daripada pasien LLA dengan HLA lain.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons