Studi Cross-sectional
Dalam
penelitian kedokteran dan kesehatan, studi
cross-sectionalmerupakan suatu bentuk studi observasional
(non-eksperimental) yang paling sering dilakukan. Kira-kira sepertiga artikel
orisinal dalam jurnal kedokteran merupakan laporan studi cross-sectional. Dalam arti yang luas, studi cross-sectional mencangkup semua jenis penelitian yang pengukuran
variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada saat itu. Studi seperti dapat
hanya bersifat deskriptif, misalnya penentuan nilai normal. Ia juga dapat merupakan
studi analitik, misalnya studi perbandingan antara kadar asam urat pada manula
yang normal dan yang gemuk, atau studi kolerasi antara skor kebugaran tertentu
dengan kadar kolesterol. Dengan perkataan lain, penelitian yang pengukurannya
dilakukan hanya satu kali, disebut studi cross-sectional.
Dalam studi cross-sectional, variabel
independen atau faktor resiko dan tergantung (efek) dinilai secara simultan
pada satu saat; jadi tidak ada follow-up
pada studi cross-sectional. Dengan
studi cross-sectional diperoleh
prevalens penyakit dalam populasi pada suatu saat; oleh karena itu studi cross-sectional disebut pula sebagai studi prevalens(prevalence studi). Studi prevalens tidak hanya digunakan untuk
perencanaan kesehatan, akan tetapi juga dapat digunakan sebagai studi etiologi.
Hasil pengamatan cross-sectional untuk mengidentifikasi
faktor risiko ini kemudian disusun dalam tabel 2x2. Untuk desain seperti ini
biasanya yang dihitung adalah rasio
prevalens, yakni perbandingan antara prevales suatu penyakit atau efek pada
subyek kelompok yang mempunyai faktor risiko, dengan prevalens penyakit atau
efek pada subyek yang tidak mempunyai faktor risiko. Rasio prevalens
menunjukkan peran faktor risiko dalam terjadinya efek pada studi cross-sectional.
Langkah-langkah Pada Studi Cross-sectional
1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis yang
sesuia
2. Mengidentifikasi variabel bebas dan tergantung
3. Menetapkan subyek penelitian
4. Melaksanakan pengukuran
5. Melakukan analisis
1)
Merumuskan Pertanyaan dan Hipotesis yang sesuai
Pertanyaan
penelitian yang akan dijawab harus dikemukakan dengan jelas, dan dirumuskan
hipotesis yang sesuai. Dalam studi cross-sectional
analitik hendaklah dikemukakan hubungan antar variabel yang diteliti. Misalnya
pertanyaan yang akan dijawab adalah apakah terdapat hubungan antara tingkat
pendidikan orangtua dengan kejadian enuresis pada anaknya.
Pengukuran faktor
risiko dan efek dilakukan sekaligus
Gambar 7-1.Struktur studi cross-sectional
menilai peran factor risiko dan terjadinya efek. Faktor risiko dan efek
diperiksa pada saat yang sama.
dan terjadinya efek. Faktor risiko
dan efek diperiksa pada saat yang sama
Efek
|
||||
Faktor
risiko
|
Ya
|
Tidak
|
Jumlah
|
|
Ya
Tidak
|
A
C
|
B
d
|
a+b
c+d
|
|
Jumlah
|
a+b
|
b+d
|
a+b+c+d
|
Gambar
7-2. Tabel 2 x 2 menunjukkan hasil cross-sectional
a = subyek
dengan faktor risiko yang mengalami efek
b
= subyek dengan faktor risiko yang tidak mengalami efek
c
= subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek
d
= subyek tanpa faktor risiko yang tidak mengalami efek
Rasio prevalens = prevalens pada
kelompok dengan risiko dibagi prevalens efek pada kelompok tanpa risiko. RP =
a/(a+b) : c/(c+d)
(Sastroasmoro
dan Ismael,2011)
2)
Mengidentifikasi
Variabel Penelitian
Semua variabel dalam studi prevalens harus
diidentifikasi dengan cermat.Untuk ini ditetapkan definisi operasional yang
jelas mana yang termasuk faktor risiko yang diteliti (variabel independen),
faktor risiko yang tidak diteliti, serta efek yang dipelajari (variabel
dependen).Factor yang mungkin merupakan risiko namun tidak diteliti perlu
diidentifikasi, agar dapat disingkirkan atau paling tidak dikurangi pada waktu
pemilihan subyek penelitian.
3)
Menetapkan Subyek Penelitian
Menetapkan populasi
penelitia.Bergantung kepada tujuan penelitian,
maka ditentukan dari populasi-terjangkau mana subyek penelitian yang akan
dipilih, apakah dari rumah sakit/fasilitas kesehatan, ataukah dari masyarakat
umum. Salah satu yang harus diperhatikan dalam penentuan
populasi terjangkau penelitian adalah besarnya kemungkinan untuk memperoleh
faktor risiko yang diteliti. Pada studi cross-sectional
mengenai infeksi HIV/AIDS, populasi yang dipilih hendaklah kelompok subyek
terjangkit oleh virus ini, misalnya kaum
homoseks atau penyalahgunaan narkotik. Bila subyek dipilih dari populasi umum,
maka kemungkinan untuk memperoleh subyek dengan HIV menjadi amat sangat kecil,
sehingga diperlukan jumlah subyek yang sangat besar
Menentukan
sampel dan memperkirakan besar sampel.Besar
sampel diperkirakan dengan formula yang sesuai.Berdasarkan perkiraan prevalens
kelainan, dapat ditentukan apakah seluruh subyek dalam populasi-terjangkau
tersebut. Penetapan besar sampel untuk penelitian cross-sectional yang mencari rasio prevalens sama dengan penetapan
besar sampel untuk studi kohort yang mencari risiiko relatif.
4)
Melaksanakan Pengukuran
Pengukuran
faktor risiko. Penetapan
faktor risiko dapat dilakukan dengan berbagai cara , bergantung pada sifat
factor risiko. Pengukuran dapat dilakukan dengan kuisioner, rekam medis,
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan fisik, atau prosedur khusus.Bila faktor
risiko diperoleh dengan wawancara, mungkin diperoleh informasi yang tidak
akurat atau tidak lengkap, yang merupakan keterbatasan studi ini. Karena itu
maka jenis studi ini lebih tepat untuk mengukur faktor-faktor risiko yang tidak
berubah.(variabel atribut), misalnya golongan darah, jenis kelamin, atau HLA.
Pengukuran
efek (penyakit).Terdapatnya
efek atau penyakit tertentu dapat ditentukan dengan kuisioner, pemeriksaan
fisik, atau pemeriksaan khusus, bergantung pada karateristik penyakit yang
dipelajari. Cara apa pun yang dipergunakan, harus ditetapkan kriteri
diagnosisnya dengan batasan operasional yang jelas. Harus selalu diingat
hal-hal yang akan mengurangi validitas penelitian, termasuk yang tidak ingat
akan timbulnya suatu penyakit yang timbul secara perlahan-lahan. Untuk penyakit
yang mempunyai eksaserbasi atau remisi, penting untuk menanyai subbyek, apakah pernah
mengalami gejala tersebut sebelumnya.
5)
Melakukan Analisis
Analisis hubungan atau perbedaan prevalens antar
kelompok yang diteliti dilakukan setelah dilakukan validasi dan pengelompokan
data.Analisis ini dapat berupa suatu uji hipotesis ataupun analisis untuk
memperoleh risiko relatif.Hal yang terakhir inilah yang sering dihitung dalam
studi cross-sectional untuk
mengidentifikasi factor risiko.Yang dimaksud dengan risiko relatif pada studi cross-sectional adalah perbandingan
antara prevalens penyakit (efek) pada kelompok dengan risiko, dengan prevalens
efek pada kelompok tanpa risiko. Pada studi cross-sectional
ini, risiko relatif yang diperoleh bukan risiko relatif yang murni. Risiko relatif yang murni hanya
dapat diperoleh dengan penelitian kohort, dengan membandingkan insidens
penyakit pada kelompok dengan risiko dengan insidens penyakit pada kelompok
tanpa risiko.
Pada studi cross-sectional,
estimasi risiko relatif dinyatakan dengan rasio prevalens (RP), yakni
perbandingan antara jumlah subyek dengan penyakit (lama dan Baru) pada satu
saat dengan seluruh subyek yang ada. RP dihitung dengan cara sederhana, yakni
dengan menggunakan table 2x2 .
Kelebihan Penelitian cross-sectional
1. Keuntungan yang utama desain cross-sectional adalah desain ini relatif mudah, murah, dan
hasilnya cepat dapat diperoleh.
2. Memungkinkan penggunaan populasi dari masyarakat umum,
tidak hanya pasien yang mencari pengobatan, dengan demikian maka
generalisasinya cukup memadai.
3. Dapat dipakai untuk meneliti banyak variabel
sekaligus.
4. Jarang terancam loss
to follow-up (drop out)
5. Dapat dimasukkan ke dalam tahapan pertamasuatu
penelitian kohort atau eksperimen, tanpa atau dengan sedikit menambah biaya.
6.
Dapat
dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat lebih
konklusif. Misalnya suatu laporan cross-sectional tentang hubungan antara HDL kolesterol
dan konsumsi alkohol dapat merupakan dasar studi kohort.(atau uji klinis) untuk
dapat memastikan adanya hubungan sebab akibat.
Kekurangan Penelitian Cross-sectional
1. Sulit untuk menentukan sebab akibat dan karena
pengambilan data risiko dan efek dilakukan pada satu saat yang bersamaan (temporal relationship). Akibatnya
seringkali tidak mungkin ditentukan mana penyebab dan mana akibat. Misalnya
hubungan kausal antara diare dan malnutrisi tidak dapat ditentukan pada studi
pravelens, karena diare kronik dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi,
sebaliknya malnutrisi juga dapat menyebabkan sindrom malabsorbsi dengan gejala
diare kronik.
2. Studi
prevalens lebih banyak menjaring subyek dengan masa sakit yang panjang dari
pada yang mempunyai masa sakit pendek, karena individu yang cepat sembuh atau
cepat meninggal mempunyai kesempatan yang lebih kecil untuk terjaring. Bila karakteristik pasien yang cepat sembuh atau yang
meninggal berbeda dengan yang mempunyai masa sakit panjang, dapat terjadi bias,
yakni salah interpretasi penelitian.
3. Dibutuhkan jumlah subyek yang cukup banyak, terutama
bila variabel yang dipelajari banyak.
4. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insidens,
maupun prognosis.
5. Tidak praktis untuk meneliti kasus yang sangat jarang,
misalnya kanker lambung, Karena pada populasi usia 45-59 tahundiperlukan paling
tidak 10.000 subyek untuk mendapatkan satu kasus. Kekurangan ini sebagian dapat
diatasi dengan cara memilih populasi dari daerah yang endemik/kelompok risiko
tinggi daripada memilih populasi umum.
6. Mungkin terjadi bias
prevalens atau bias insidens
karena efek faktor risiko selama periode tertentu dapat disalah tafsirkan
sebagai efek penyakit. Misalnya pada rancangan penelitian cross-sectional didapatkan frekuensi HLA-A2 yang tinggi pada pasien
leukemia limfositik akut (LLA), memberikesan bahwa pasien dengan HLA-A2
mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita LLA. Namun dalam penelitian
ini yang dilakukan kemudian terbukti bahwa HLA-A2 justru memiliki prognosis
yang baik, yakni umur pasien lebih panjang; akibatnya, pasien LLA dengan HLA-A2
dijumpai lebih banyak daripada pasien LLA dengan HLA lain.
0 komentar:
Posting Komentar