Kamis, 06 September 2012


      Imunisasi


Pengertian Dasar  Imunisasi
1.      Reaksi Antigen-Antibodi
Dalam bidang imunologi kuman atau racun kuman (toksin) disebut sebagai antigen. Secara khusus antigen tersebut merupakan bagian protein kuman atau protein racunnya. Bila antigen untuk pertama kali masuk ke dalam tubuh manusia, maka sebagai reaksinya tubuh akan membentuk zat anti. Bila antigen itu kuman, zat anti yang dibuat tubuh disebut antibodi. Zat anti terhadap racun kuman disebut antioksidan. Berhasil tidaknya tubuh memusnahkan antigen atau kuman itu bergantung kepada jumlah zat anti yang dibentuk.
Pada umumnya tubuh anak tidak akan mampu melawan antigen yang kuat. Antigen yang kuat ialah jenis kuman ganas. Virulen yang baru untuk pertama kali dikenal oleh tubuh. Karena itu anak akan menjadi sakit bila terjangkit kuman ganas.
Jadi pada dasarnya reaksi pertama tubuh anak untuk membentuk antibodi/antitoksin terhadap antigen, tidaklah terlalu kuat. Tubuh belum mempunyai “pengalaman” untuk mengatasinya. Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan berikutnya, tubuh anak sudah pandai membuat zat anti yang cukup tinggi. Dengan cara reaksi antigen-antibody, tubuh anak dengan kekuatan zat antinya dapat menghancurkan antigen atau kuman; berarti bahwa anak telah menjadi kebal (imun) terhadap penyakit tersebut.
Dengan dasar reaksi antigen antibodi ini tubuh anak memberikan reaksi perlawanan terhadap benda-benda asing dari luar (kuman, virus, racun, bahan kimia) yang mungkin akan merusak tubuh. Dengan demikian anak terhindar dari ancaman luar. Akan tetapi, setelah beberapa bulan/tahun, jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang, sehingga imunitas tubuh pun menurun. Agar tubuh tetap kebal diperlukan perangsangan kembali oleh antigen, artinya anak terseut harus mendapat suntikan/imunisasi ulangan.

2.     Imunisasi aktif dan Imunisasi Pasif
Ada 2 jenis imunisasi, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Berikut ini akan diuraikan arti dan perbedaan kedua jenis imunisasi tersebut. Berbagai jenis vaksin yang dikemukakan di atas bila diberikan pada anak merupakan contoh pemberian imunisasi pasif. Dalam hal ini tubuh anak akan membuat sendiri zat anti setelah suatu rangsangan antigen dari luar tubuh, misalnya rangsangan virus yang telah dilemahkan pada imunisasi polio atau imunisasi campak. Setelah rangsangan ini kadar anti dalam tubuh anak akan meningkat, sehingga anak menjadi imun atau kebal. Jelaslah bahwa pada imunisasi aktif, tubuh anak sendiri secara aktif akan menghasilkan zat anti setelah adanya rangsangan vaksin dari luar tubuh.
Berlainan halnya dengan imunisasi aktif. Dalam hal ini imunisasi dilakukan dengan penyuntikan sejumlah zat anti, sehingga kadarnya dalam darah akan meningkat. Zat anti yang disuntikkan tadi biasanya telah dipersiapkan pembuatannya di luar tubuh anak, misalnya zat anti yang terdapat dalam serum kuda yang telah dimurnikan. Jadi pada imunisasi pasif, kadar zat anti yang meningkat dalam tubuh anak itu bukan sebagai hasil produksi tubuh anak sendiri, tetapi secara pasif diperoleh karena suntikan atau pemberian dari luar tubuh. Contoh imunisasi pasif ialah pemberian ATS (Anti Tetanus Serum) pada anak yang mendapat luka kecelakaan. Serum anti tetanus ini diperoleh dari darah kuda yang mengandung banyak zat anti tetanus. Contoh imunisasi pasif lain terjadi pada bayi baru lahir. Bayi itu menerima berbagai jenis zat anti dari ibunya melalui darah uri (plasenta), misalnya zat anti terhadap penyakit campak ketika bayi masih dalam kandungan ibu.
Perbedaan yang penting antara jenis imunisasi aktif dan imunisasi pasif ialah:
(1)    Untuk memperoleh kekebalan yang cukup, jumlah zat anti dalam tubuh harus meningkat; pada imunisasi aktif diperlukan waktu yang agak lebih lama untuk membuat zat anti itu dibandingkan dengan imunisasi pasif.
(2)    Kekebalan yang terdapat pada imunisasi aktif bertahan lama (bertahun-tahun), sedangkan pada imunisasi pasif hanya berlangsung untuk 1 – 2 bulan.
- Imunisasi pasif: tubuh anak sendiri membuat zat anti yang akan bertahan selama bertahun-tahun.
-  Imunisasi aktif: tubuh anak tidak membuat sendiri zat anti. Anak mendapatnya dari luar tubuh dengan cara penyuntikan bahan/serum yang telah mengandung zat anti.
-  Kekebalan yang diperoleh dengan imunisasi pasif tidak berlangsung lama.

 3. Jenis Imunisasi

Imunisasi wajib, Program Pengembangan Imunisasi (PPI)
Jenis imunisasi ini mencakup vaksinasi terhadap 6 penyakit utama, yaitu BCG, DPT, Polio dan Campak. Harus menjadi perhatian dan kewajiban orang tua untuk memberi kesempatan kepada anaknya mendapat imunisasi lengkap, sehingga sasaran Pemerintah agar setiap anak mendapat imunisasi dasar terhadap 6 penyakit utama pada tahun 1990 dapat tercapai.

1. Vaksin BCG
    Vaksinasi dan jenis vaksin: pemberian imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). Vaksin BCG mengandung kuman BCG (Bacillus Calmette guerin) yang masih hidup. Jenis kuman TBC ini telah dilemahkan.
    Penjelasan penyakit: di Indonesia dan di negara sedang berkembang lainnya, TBC masih merupakan penyakit rakyat yang sangat mudah menular. Di negara yang sudah berkembang, penyakit ini sudah sangat jarang ditemukan, karena dilaksanakannya imunisasi BCG dengan luas, pengawasan ketat terhadap penderita TBC dan perbaikan keadaan sosial ekonomi.
     Cara imunisasi: pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan ketika bayi baru lahir sampai berumur 2 bulan. Setiap 5 tahun imunisasi diulang. Pada anak yang berumur lebih dari 2 bulan, dianjurkan untuk melakukan uji Mantoux sebelum imunisasi BCG. Gunanya untuk mengetahui apakah ia telah terjangkit penyakit TBC. Seandainya hasil uji Mantoux positif, anak tersebut selayaknya tidak mendapat imunisasi BCG.
      Bila pemberian imunisasi BCG itu “berhasil”, setelah beberapa Minggu di tempat suntikan akan terdapat benjolan kecil. Tempat suntikan itu kemudian berbekas. Kadang-kadang benjolan tersebut bernanah, tetapi akan menyembuh sendiri meskipun lambat. Biasanya penyuntikan BCG dilakukan di lengan kanan atas.
      Kekebalan : Seperti telah diuraikan di atas, jaminan imunisasi tidaklah mutlak 100% bahwa anak akan terhindar sama sekali dari penyakit TBC. Seandainya bayi yang telah mendapat imunisasi terjangkit juga penyakit TBC, maka ia akan menderita penyakit TBC ini dalam bentuk yang ringan. Ia pun akan terhindar dari kemungkinan mendapat TBC yang berat, seperti TBC paru yang parah, TBC tulang atau TBC selaput otak yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup dan membahayakan jiwa anak.
       Reaksi imunisasi: setelah suntikan BCG bayi tidak akan menderita demam.
   Efek samping: umumnya pada imunisasi BCG jarang dijumpai akibat samping. Mungkin terjadi pembengkakan kelenjar getah bening setempat yang terbatas dan biasanya menyembuh sendiri walaupun lambat. Bila suntikan BCG dilakukan di lengan atas, pembengkakan kelenjar terdapat di ketiak atau leher bagian bawah. Suntikan di paha dapat menimbulkan pembengkakan kelenjar di selangkangan. Komplikasi pembengkakan kelenjar ini biasanya disebabkan arena teknik penyuntikan yang kurang tepat, yaitu penyuntikan terlalu dalam.
   Indikasi kontra: tidak ada larangan untuk melakukan imunisasi BCG, kecuali pada anak yang berpenyakit TBC atau menunjukkan uji Mantoux positif.

2. Vaksin DPT (Difteria, Pertusis, Tetanus)
    Vaksin dan jenis vaksin: manfaat pemberian imunisasi ini ialah untuk menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit difteria, pertusis (batuk rejan) dan tetanus. Dalam peredaran di pasaran terdapat 3 jenis kemasan vaksin ketiga penyakit ini. Dapat diperoleh dalam bentuk kemasan tunggal khususnya bagi tetanus, dalam bentuk kombinasi DT (difteria dan tetanus), dan kombinasi DPT (dikenal pula sebagai vaksin tripel).
    Cara imunisasi: imunisasi dasar diberikan 2-3 kali, sejak bayi berumur 2 bulan dengan jarak waktu antara 2 penyuntikan 4-6 minggu. Imunisasi dasar dengan 3 kali penyuntikan lebih baik daripada dengan 2 kali penyuntikan. Untuk imunisasi massal (di sekolah, RT/RW), biasanya cukup diberikan 2 kali penyuntikan. Imunisasi ulang lazimnya diberikan ketika anak berumur 1 ½ – 2 tahun, menjelang umur 5 tahun (sebelum masuk sekolah dasar), dan menjelang umur 10 tahun (sebelum keluar Sekolah Dasar), masing-masing hanya diberi 1 kali suntikan.
     Reaksi imunisasi: reaksi yang mungkin terjadi biasanya demam ringan, pembengkakan dan rasa nyeri di tempat suntikan selama 1 – 2 hari.
   Efek samping: kadang-kadang terdapat akibat samping yang lebih berat, seperti demam tinggi atau kejang, yang biasanya disebabkan oleh unsur pertusisnya. Bila hanya diberikan DT (difteria dan tetanus) tidak akan menimbulkan akibat samping demikian.
  • Indikasi kontra: imunisasi DPT tidak boleh diberikan kepada anak yang sakit parah, pernah menderita kejang atau pada penyakit gangguan kekebalan (defisiensi imunologik). Sakit batuk, pilek, demam atau diare yang sifatnya ringan, bukan merupakan indikasi kontra yang mutlak.


3. Vaksin Poliomielitis

   Vaksinasi dan jenis vaksin: imunisasi diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit poliomielitis. Terdapat 2 jenis vaksin dalam peredaran, yang masing-masing mengandung virus polio tipe I, II dan III, yaitu:
(1)    Vaksin yang mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang sudah dimatikan (vaksin Salk). Cara pemberian vaksin ini ialah dengan penyuntikan.
(2)    Vaksin yang mengandung virus polio tipe I, II, dan II yang masih hidup, tetapi dilemahkan (vaksin Sabin). Cara pemberiannya ialah melalui mulut dalam bentuk pil atau cairan.
Di Indonesia yang lazim diberikan ialah vaksin jenis Sabin. Kedua jenis vaksin tersebut mempunyai kebaikan dan kekurangannya. Kekebalan yang diperoleh sama baiknya. Karena cara pemberiannya lebih mudah melalui mulut, maka lebih sering dipakai jenis Sabin. Di beberapa negara dikenal “Tetra vaccine” yang mengandung 4 jenis vaksin, yaitu kombinasi DPT dan polio, cara pemberiannya dengan suntikan.

    Penjelasan penyakit: Poliomielitis ialah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus polio. Telah dikenal 3 jenis polio, yaitu tipe I, II dan III. Virus polio akan merusak bagian anterior (bagian muka) susunan saraf tulang belakang. Penyakit ini terutama banyak terdapat di negara yang sedang berkembang. Di Indonesia di Semarang tahun 1954, di Medan tahun 1957. Gejala penyakit ini sangat bervariasi, dari gejala ringan sampai timbul kelumpuhan, bahkan mungkin suatu kematian. Gejala yang umum dan mudah dikenal ialah anak mendadak menjadi lumpuh pada salah satu anggota geraknya, setelah ia menderita demam selama 2-5 hari. Bila kelumpuhan itu terjadi pada otot pernafasan, mungkin anak akan meninggal karena sukar bernafas. Penyakit ini dapat langsung menular dari seorang penderita polio atau dengan melalui makanan.
   Cara imunisasi: di Indonesia dipakai vaksin Sabin yang diberikan melalui mulut. Imunisasi dasar diberikan ketika anak berumur 2 bulan, sebanyak 2-3 kali. Jarak waktu antara 2 pemberian ialah 4-6 minggu. Sevaksinasi diberikan ketika anak berumur 1 ½ – 2 tahun, menjelang umur 5 tahun dan menjelang umur 10 tahun (lihatlah jadwal imunisasi, hal 61). Vaksin polio dapat diberikan bersama dengan vaksin DPT.
 Apabila sudah terkena penyakit polio masih diperlukan imunisasi ulang karena mungkin anak yang menderita polio hanya terjangkit oleh virus polio tipe I. Artinya, bila penyakitnya telah menyembuh ia hanya mempunyai kekebalan terhadap virus polio tipe I, tetapi tidak memungkinkan kekebalan terhadap jenis virus polio tipe II dan III. Sehingga untuk mendapat kekebalan terhadap kedua jenis virus tersebut perlu diberikan imunisasi ulang polio.
    Kekebalan: Daya proteksi vaksin polio sangat baik, yaitu sebesar 95-100%.
    Reaksi imunisasi: biasanya tidak ada, mungkin pada bayi akan terdapat berak-berak ringan.
   Efek samping: Pada imunisasi polio hampir tidak terdapat efek samping. Bila ada, mungkin berupa kelumpuhan anggota gerak seperti pada penyakit polio sebenarnya.
    Indikasi kontra: Pada anak dengan diare berat atau yang sedang sakit parah, imunisasi polio sebaiknya ditangguhkan. Demikian pula pada anak yang menderita penyakit defisiensi kekebalan tidak diberikan polio. Alasan untuk tidak memberikan vaksin polio pada keadaan diare berat ialah kemungkinan terjadinya diare yang lebih parah. Pada anak dengan penyakit batuk, pilek, demam atau diare ringan, imunisasi polio dapat diberikan seperti biasanya.

4. Vaksin Campak (Morbili)

     Vaksinasi dan jenis vaksin: Imunisasi diberikan untuk mendapat kekebalan terhadap penyakit campak secara aktif. Vaksin campak mengandung virus campak hidup yang telah dilemahkan. Vaksin campak yang beredar di Indonesia dapat diperoleh dalam bentuk kemasan kering tunggal atau dalam kemasan kering di kombinasi dengan vaksin gondong/bengok (mumps) dan rubela (campak Jerman). Di Amerika Serikat kemasan terakhir ini dikenal dengan nama MMR (Measles Mumps-Rubela Vaccine).
    Penjelasan penyakit: istilah asing untuk penyakit campak ialah Marbilli (Latin), Measles (Inggris). Penyakit ini sangat mudah menular. Kuman penyebabnya ialah sejenis virus yang termasuk ke dalam golongan paramyxo virus. Gejala yang khas yaitu timbulnya bercak-bercak merah di kulit (eksantem), 3-5 hari setelah anak menderita deman, batuk atau pilek. Bercak merah ini mula-mula timbul di pipi di bawah telinga. Kemudian menjalar ke muka, tubuh dan anggota gerak. Pada stadium berikutnya bercak merah tersebut akan berwarna cokelat kehitaman dan akan menghilang dalam waktu 7-10 hari kemudian. Tahap penyakit ketika timbul gejala demam disebut stadium katarak. Tahap ketika kemudian timbul bercak merah di kulit disebut stadium eksantem. Pada stadium katarak penyakit campak sangat mudah menular kepada anak lain. Daya tular ini menjadi berkurang pada stadium eksantem.
Pada waktu stadium katarak dan stadium eksantem anak nampak sakit berat, lesu dan tidak ada nafsu makan. Sebenarnya penyakit campak sendiri merupakan penyakit yang terbatas dan dapat sembuh sendiri, tetapi sering diikuti oleh komplikasi yang cukup berat. Komplikasi penyakit campak yang berbahaya ialah radang otak (ensefalitis atau ensefalopati), radang paru, radang saluran kemih dan menurunnya keadaan gizi anak. Terutama pada anak yang kurang gizi, sering terdapat komplikasi radang paru yang mungkin dapat mengakibatkan kematian.
     Cara imunisasi: Bayi yang baru lahir telah mendapat kekebalan pasif terhadap penyakit campak dari ibunya ketika ia dalam kandungan. Makin lanjut umur bayi, makin berkurang kekebalan pasif tersebut. Waktu berumur 6 bulan biasanya bayi itu tidak mempunyai kekebalan pasif lagi. Dengan adanya kekebalan pasif ini sangatlah jarang seorang bayi menderita campak pada umur kurang dari 6 bulan.

       Menurut WHO (1973) imunisasi campak cukup dilakukan dengan 1 kali suntikan setelah bayi berumur 9 bulan. Lebih baik lagi setelah ia berumur lebih dari 1 tahun. Karena kekebalan yang diperoleh berlangsung seumur hidup, maka tidak diperlukan revaksinasi lagi. Di Indonesia keadaannya berlainan. Kejadian campak masih tinggi dan sering dijumpai bayi menderita penyakit campak ketika ia berumur antara 6-9 bulan, jadi pada saat sebelum ketentuan batas umur 9 bulan untuk mendapat vaksinasi campak seperti yang dianjurkan WHO. Dengan memperhatikan kejadian ini, sebenarnya imunisasi campak dapat diberikan sebelum bayi berumur 9 bulan, misalnya pada umur antara 6-7 bulan ketika kekebalan pasif yang diperoleh dari ibu mulai menghilang. Akan tetapi kemudian ia harus mendapat satu kali suntikan ulang setlah berumur 15 bulan.

     Kekebalan: Daya proteksi imunisasi campak sangat tinggi, yaitu 96-99%. Menurut penelitian, kekebalan yang diperoleh ini berlangsung seumur hidup, sama langgengnya dengan kekebalan yang diperoleh bila anak terjangkit campak secara alamiah.
    Reaksi imunisasi: Biasanya tidak terdapat reaksi akibat imunisasi. Mungkin terjadi demam ringan dan nampak sedikit bercak merah pada pipi di bawah telinga pada hari ke 7-8 setelah penyuntikan. Mungkin pula terdapat pembengkakan pada tempat suntikan.
     Efek samping: Sangat jarang, mungkin terdapat kejang yang ringan dan tidak berbahaya pada hari ke 10-12 setelah penyuntikan. Selain itu dapat terjadi radang otak, berupa ensefalitis atau ensefalopati, dalam waktu 30 hari setelah imunisasi. Tetapi kejadiannya sangat jarang, yaitu 1 diantara 1 juta suntikan. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan kejadian radang otak akibat penyakit campak alamiah yang sebesar 1 diantara 250 kasus. Dengan demikian risiko untuk terjadinya radang otak akibat infeksi alamiah 2.500 kali lebih besar daripada akibat imunisasi.
Demikian pula dapat terjadi akibat samping lain pada jaringan otak yang dikenal dengan istilah SSPE (subacute sclerosing panencephalitis). Kejadiannya sangat jarang (1 diantara 1 juta penderita campak).
Indikasi kontra: Menurut WHO (1963), indikasi kontra hanya berlaku terhadap anak yang sakit parah, yang menderita TBC tanpa pengobatan, atau yang menderita kurang gizi dalam derajat berat. Vaksinasi campak sebaiknya juga tidak diberikan pada anak dengan penyakit defisiensi kekebalan. Juga tidak diberikan pada anak yang menderita penyakit keganasan atau sedang dalam pengobatan penyakit keganasan. Karena belum terkumpulnya cukup informasi ilmiah, sebaiknya imunisasi campak pada ibu hamil ditangguhkan. Pada anak yang pernah kejang, imunisasi campak dapat diberikan seperti biasanya, asalkan dengan pengawasan dokter.
5. Vaksin Hepatitis B
Vaksinasi dan jenis vaksinasi: Vaksinasi dimaksudkan untuk mendapat kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B. Penyakit ini dalam istilah sehari-hari lebih dikenal  dengan nama penyakit lever. Jenis vaksin ini baru dikembangkan dalam waktu 10 tahun terakhir, setelah diteliti bahwa virus hepatitis B mempunyai kaitan erat dengan terjadinya penyakit lever. Vaksin terbuat dari plasma carrier hepatitis B yang sehat dengan cara pengolahan tertentu. Dari bahan plasma tersebut dapat dipisahkan dan dimurnikan bagian virus yang dapat dipakai dalam pembuatan vaksin lebih lanjut. Di kalangan masyarakat dikhawatirkan pemakaian vaksin yang terbuat dari plasma karena adanya berita akibat samping berupa penyakit AIDS. Namun setelah pemakaiannya yang lebih dari 10 tahun, ternyata tidak didapatkan adanya efek samping yang berarti. WHO melaporkan pula bahwa pemakaian vaksin tersebut cukup aman dan bebas dari penyakit AIDS.
Setelah percobaan yang lamanya bertahun-tahun, dalam 2-3 tahun terakhir ini telah beredar di pasaran vaksin Hepatitis B yang pembuatannya menggunakan teknik rekombinasi DNA dengan memakai bahan sel ragi. Dengan teknik ini diharapkan vaksin dapat diproduksi dalam jumlah yang lebih banyak dan biaya pengolahannya lebih rendah, tanpa mengurangi mutu vaksin. Dengan demikian harga yang cukup mahal ini dapat ditekan, sehingga terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.
Penjelasan penyakit: penyakit ini tersebar di seluruh dunia, tetapi angka kejadian yang paling tinggi tercatat di negara Afrika dan Asia, khususnya di daerah Afrika Sahara dan Asia Tenggara. Di Taiwan satu diantara 7 orang dilaporkan mengidap virus hepatitis B dalam darahnya. Di Indonesia kejadiannya satu diantara 12-14 orang. Selanjutnya dinyatakan bahwa 10% di antara pengidap virus tadi akan menjadi carrier yang menahun, yang setelah beberapa tahun kemudian menunjukkan gejala kanker hati atau sirosis hati. Virus hepatitis B yang masuk dalam tubuh akan berkembang biak di dalam jaringan hati dan kemudian merusaknya. Gejala utama penyakit hepatitis ialah kekuningan pada mata, rasa lemah, mual, muntah, tidak nafsu makan dan demam.
Terhadap penyakit kanker terjadinya penularan hepatitis B, di antaranya: (1) Melalui tusukan di kulit dan jaringan tubuh lainnya, misalnya dengan suntikan biasa, tusukan anting, tato, akupunktur, goresan luka, tindakan operasi termasuk perawatan gigi. (2) Pemindahan cairan tubuh, misalnya melalui susu ibu, bersenggama, berciuman, tindakan operasi. (3) Melalui darah atau plasma waktu transfusi. (4) Selama masa janin dengan melalui uri, meskipun penularan cara ini jarang terjadi.
Cara imunisasi: Imunisasi aktif dilakukan dengan cara pemberian suntikan dasar sebanyak 2 atau 3 kali dengan jarak waktu 1 bulan. Selanjutnya dilakukan 1 kali imunisasi ulang dalam waktu 5-12 bulan setelah imunisasi dasar. Revaksinasi berikutnya diberikan setiap 5 tahun. Cara pemberian imunisasi dasar di atas mungkin berbeda, karena tergantung dari jenis vaksin yang dibuat oleh pabrik. Misalnya imunisasi dasar dengan memakai vaksin buatan Pasteur Prancis berbeda dengan penggunaan vaksin MSD Amerika Serikat.
Di samping itu perlu diberikan pula imunisasi pasif, khusus bagi bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang mengidap virus hepatitis B. Caranya yaitu dengan pemberian imunoglobulin khusus dalam waktu 12 jam setelah bayi lahir. Kemudian dalam waktu 7 hari berikutnya bayi ini harus sudah mendapat imunisasi aktif dengan penyuntikan vaksin hepatitis B. Cara pemberian imunisasi aktif selanjutnya sama seperti pemberian kepada anak lain.
Mengingat daya tularnya yang tinggi dari ibu kepada bayi, sebaiknya ibu hamil memeriksakan darahnya untuk pemeriksaan hepatitis B, sehingga dapat dipersiapkan tindakan yang diperlukan menjelang kelahiran bayi.
Kekebalan: Daya proteksi vaksin hepatitis B cukup tinggi, yaitu berkisar antara 94-96%.
Reaksi imunisasi: Reaksi imunisasi yang terjadi biasanya berupa nyeri pada tempat suntikan yang mungkin disertai dengan timbulnya rasa panas atau pembengkakan. Reaksi ini akan menghilang dalam waktu 2 hari. Reaksi lain yang mungkin terjadi ialah demam ringan.
Efek samping: Selama pemakaian 10 tahun ini, tidak dilaporkan adanya efek samping yang berarti. Berbagai suara di masyarakat tentang kemungkinan terjangkit oleh penyakit AIDS, merupakan pemberitaan yang dibesar-besarkan. Dengan penelitian yang luas, WHO tetap menganjurkan pelaksanaan imunisasi hepatitis B.
Indikasi kontra: imunisasi tidak dapat diberikan kepada anak yang menderita sakit berat. Vaksinasi hepatitis B ini dapat diberikan kepada ibu hamil dengan nama aman dan tidak akan membahayakan janin. Bahkan akan memberikan perlindungan kepada janin selama dalam kandungan ibu maupun kepada bayi selama beberapa bulan setelah lahir.
4. Sputum
Sputum adalah  bahan yang dikeluarkan dari paru, bronchus, dan trachea melalui mulut. Biasanya juga disebut dengan expectoratorian. (Dorland). Sputum diproduksi disel goblet yang berada pada resporatory tract.
Orang dewasa normal bisa memproduksi mukus (sekret kelenjar) sejumlah 100 ml dalam saluran napas setiap hari. Mukus ini digiring ke faring dengan mekanisme pembersihan silia dari epitel yang melapisi saluran pernapasan. Keadaan abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses pembersihan tidak berjalan secara adekuat normal seperti tadi, sehingga mukus ini banyak tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang, dan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intrathorakal dan intraabdominal yang tinggi. Dibatukkan, udara keluar dengan akselerasi yg cepat beserta membawa sekret mukus yang tertimbun tadi. Mukus tersebut akan keluar sebagai sputum.
Sputum yang dikeluarkan oleh seorang pasien hendaknya dapat dievaluasi sumber, warna, volume, dan konsistensinya, karena kondisi sputum biasanya memperlihatkan secara spesifik proses kejadian patologik pada pembentukan sputum itu sendiri.
Klasifikasi bentukan sputum dan kemungkinan penyebabnya:
  • Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan tenggorokan, kemungkinan berasal dari sinus, atau asluran hidung, bukan berasal dari saluran napas bagian bawah.
  • Sputum banyak sekali dan purulen → proses supuratif (eg. Abses paru)
  • Sputum yg terbentuk perlahan&terus meningkat → taanda bronkhitis/  bronkhiektasis.
  • Sputum kekuning-kuningan → proses infeksi
  • Sputum hijau → proses penimbunan nanah. Warna hijau ini dikarenakan adanya verdoperoksidase yg dihasikan oleh PMN dlm sputum. Sputum hijau ini sering ditemukan pada penderita bronkhiektasis karena penimbunan sputum dalam bronkus yang melebar dan terinfeksi.
  • Sputum merah muda&berbusa → tanda edema paru akut.
  • Sputum berlendir, lekat, abu-abu/putih → tanda bronkitis kronik.
  • Sputum berbau busuk → tanda abses paru/ bronkhiektasis

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons