Imunisasi
Pengertian Dasar Imunisasi
1.
Reaksi Antigen-Antibodi
Dalam bidang imunologi kuman atau racun kuman (toksin)
disebut sebagai antigen. Secara khusus antigen tersebut merupakan bagian
protein kuman atau protein racunnya. Bila antigen untuk pertama kali masuk ke
dalam tubuh manusia, maka sebagai reaksinya tubuh akan membentuk zat anti. Bila
antigen itu kuman, zat anti yang dibuat tubuh disebut antibodi. Zat anti
terhadap racun kuman disebut antioksidan. Berhasil tidaknya tubuh
memusnahkan antigen atau kuman itu bergantung kepada jumlah zat anti yang
dibentuk.
Pada umumnya tubuh anak tidak akan mampu melawan
antigen yang kuat. Antigen yang kuat ialah jenis kuman ganas. Virulen yang baru
untuk pertama kali dikenal oleh tubuh. Karena itu anak akan menjadi sakit bila
terjangkit kuman ganas.
Jadi pada dasarnya reaksi pertama tubuh anak untuk
membentuk antibodi/antitoksin terhadap antigen, tidaklah terlalu kuat. Tubuh
belum mempunyai “pengalaman” untuk mengatasinya. Tetapi pada reaksi yang ke-2,
ke-3 dan berikutnya, tubuh anak sudah pandai membuat zat anti yang cukup tinggi.
Dengan cara reaksi antigen-antibody, tubuh anak dengan kekuatan zat antinya
dapat menghancurkan antigen atau kuman; berarti bahwa anak telah menjadi kebal
(imun) terhadap penyakit tersebut.
Dengan dasar reaksi antigen antibodi ini tubuh anak
memberikan reaksi perlawanan terhadap benda-benda asing dari luar (kuman,
virus, racun, bahan kimia) yang mungkin akan merusak tubuh. Dengan demikian
anak terhindar dari ancaman luar. Akan tetapi, setelah beberapa bulan/tahun,
jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang, sehingga imunitas tubuh pun
menurun. Agar tubuh tetap kebal diperlukan perangsangan kembali oleh antigen,
artinya anak terseut harus mendapat suntikan/imunisasi ulangan.
2. Imunisasi aktif dan Imunisasi Pasif
Ada 2 jenis
imunisasi, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Berikut ini akan
diuraikan arti dan perbedaan kedua jenis imunisasi tersebut. Berbagai jenis
vaksin yang dikemukakan di atas bila diberikan pada anak merupakan contoh
pemberian imunisasi pasif. Dalam hal ini tubuh anak akan membuat sendiri zat
anti setelah suatu rangsangan antigen dari luar tubuh, misalnya rangsangan
virus yang telah dilemahkan pada imunisasi polio atau imunisasi campak. Setelah
rangsangan ini kadar anti dalam tubuh anak akan meningkat, sehingga anak
menjadi imun atau kebal. Jelaslah bahwa pada imunisasi aktif, tubuh anak
sendiri secara aktif akan menghasilkan zat anti setelah adanya rangsangan
vaksin dari luar tubuh.
Berlainan
halnya dengan imunisasi aktif. Dalam hal ini imunisasi dilakukan dengan
penyuntikan sejumlah zat anti, sehingga kadarnya dalam darah akan meningkat.
Zat anti yang disuntikkan tadi biasanya telah dipersiapkan pembuatannya di luar
tubuh anak, misalnya zat anti yang terdapat dalam serum kuda yang telah
dimurnikan. Jadi pada imunisasi pasif, kadar zat anti yang meningkat dalam
tubuh anak itu bukan sebagai hasil produksi tubuh anak sendiri, tetapi secara
pasif diperoleh karena suntikan atau pemberian dari luar tubuh. Contoh
imunisasi pasif ialah pemberian ATS (Anti Tetanus Serum) pada anak yang mendapat
luka kecelakaan. Serum anti tetanus ini diperoleh dari darah kuda yang
mengandung banyak zat anti tetanus. Contoh imunisasi pasif lain terjadi pada
bayi baru lahir. Bayi itu menerima berbagai jenis zat anti dari ibunya melalui
darah uri (plasenta), misalnya zat anti terhadap penyakit campak ketika bayi
masih dalam kandungan ibu.
Perbedaan yang penting antara jenis
imunisasi aktif dan imunisasi pasif ialah:
(1) Untuk
memperoleh kekebalan yang cukup, jumlah zat anti dalam tubuh harus meningkat;
pada imunisasi aktif diperlukan waktu yang agak lebih lama untuk membuat zat
anti itu dibandingkan dengan imunisasi pasif.
(2) Kekebalan yang
terdapat pada imunisasi aktif bertahan lama (bertahun-tahun), sedangkan pada
imunisasi pasif hanya berlangsung untuk 1 – 2 bulan.
- Imunisasi pasif: tubuh anak
sendiri membuat zat anti yang akan bertahan selama bertahun-tahun.
- Imunisasi aktif: tubuh
anak tidak membuat sendiri zat anti. Anak mendapatnya dari luar tubuh dengan
cara penyuntikan bahan/serum yang telah mengandung zat anti.
- Kekebalan yang diperoleh
dengan imunisasi pasif tidak berlangsung lama.
3. Jenis Imunisasi
Imunisasi
wajib, Program Pengembangan Imunisasi
(PPI)
Jenis
imunisasi ini mencakup vaksinasi terhadap 6 penyakit utama, yaitu BCG, DPT,
Polio dan Campak. Harus menjadi perhatian dan kewajiban orang tua untuk memberi
kesempatan kepada anaknya mendapat imunisasi lengkap, sehingga sasaran
Pemerintah agar setiap anak mendapat imunisasi dasar terhadap 6 penyakit utama
pada tahun 1990 dapat tercapai.
1. Vaksin BCG
Vaksinasi dan jenis vaksin: pemberian
imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit
tuberkulosis (TBC). Vaksin BCG mengandung kuman BCG (Bacillus Calmette guerin)
yang masih hidup. Jenis kuman TBC ini telah dilemahkan.
Penjelasan penyakit: di
Indonesia dan di negara sedang berkembang lainnya, TBC masih merupakan penyakit
rakyat yang sangat mudah menular. Di negara yang sudah berkembang, penyakit ini
sudah sangat jarang ditemukan, karena dilaksanakannya imunisasi BCG dengan
luas, pengawasan ketat terhadap penderita TBC dan perbaikan keadaan sosial
ekonomi.
Cara imunisasi: pemberian
imunisasi BCG sebaiknya dilakukan ketika bayi baru lahir sampai berumur 2
bulan. Setiap 5 tahun imunisasi diulang. Pada anak yang berumur lebih dari 2
bulan, dianjurkan untuk melakukan uji Mantoux sebelum imunisasi BCG. Gunanya
untuk mengetahui apakah ia telah terjangkit penyakit TBC. Seandainya hasil uji
Mantoux positif, anak tersebut selayaknya tidak mendapat imunisasi BCG.
Bila pemberian imunisasi BCG itu
“berhasil”, setelah beberapa Minggu di tempat suntikan akan terdapat benjolan
kecil. Tempat suntikan itu kemudian berbekas. Kadang-kadang benjolan tersebut
bernanah, tetapi akan menyembuh sendiri meskipun lambat. Biasanya penyuntikan
BCG dilakukan di lengan kanan atas.
Kekebalan : Seperti
telah diuraikan di atas, jaminan imunisasi tidaklah mutlak 100% bahwa anak akan
terhindar sama sekali dari penyakit TBC. Seandainya bayi yang telah mendapat
imunisasi terjangkit juga penyakit TBC, maka ia akan menderita penyakit TBC ini
dalam bentuk yang ringan. Ia pun akan terhindar dari kemungkinan mendapat TBC
yang berat, seperti TBC paru yang parah, TBC tulang atau TBC selaput otak yang
dapat mengakibatkan cacat seumur hidup dan membahayakan jiwa anak.
Reaksi imunisasi: setelah
suntikan BCG bayi tidak akan menderita demam.
Efek samping: umumnya
pada imunisasi BCG jarang dijumpai akibat samping. Mungkin terjadi pembengkakan
kelenjar getah bening setempat yang terbatas dan biasanya menyembuh sendiri walaupun
lambat. Bila suntikan BCG dilakukan di lengan atas, pembengkakan kelenjar
terdapat di ketiak atau leher bagian bawah. Suntikan di paha dapat menimbulkan
pembengkakan kelenjar di selangkangan. Komplikasi pembengkakan kelenjar ini
biasanya disebabkan arena teknik penyuntikan yang kurang tepat, yaitu
penyuntikan terlalu dalam.
Indikasi kontra: tidak ada
larangan untuk melakukan imunisasi BCG, kecuali pada anak yang berpenyakit TBC
atau menunjukkan uji Mantoux positif.
2. Vaksin DPT (Difteria, Pertusis,
Tetanus)
Vaksin dan jenis vaksin: manfaat
pemberian imunisasi ini ialah untuk menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu
yang bersamaan terhadap penyakit difteria, pertusis (batuk rejan) dan tetanus.
Dalam peredaran di pasaran terdapat 3 jenis kemasan vaksin ketiga penyakit ini.
Dapat diperoleh dalam bentuk kemasan tunggal khususnya bagi tetanus, dalam
bentuk kombinasi DT (difteria dan tetanus), dan kombinasi DPT (dikenal pula
sebagai vaksin tripel).
Cara imunisasi: imunisasi
dasar diberikan 2-3 kali, sejak bayi berumur 2 bulan dengan jarak waktu antara
2 penyuntikan 4-6 minggu. Imunisasi dasar dengan 3 kali penyuntikan lebih baik
daripada dengan 2 kali penyuntikan. Untuk imunisasi massal (di sekolah, RT/RW),
biasanya cukup diberikan 2 kali penyuntikan. Imunisasi ulang lazimnya diberikan
ketika anak berumur 1 ½ – 2 tahun, menjelang umur 5 tahun (sebelum masuk
sekolah dasar), dan menjelang umur 10 tahun (sebelum keluar Sekolah Dasar),
masing-masing hanya diberi 1 kali suntikan.
Reaksi imunisasi: reaksi
yang mungkin terjadi biasanya demam ringan, pembengkakan dan rasa nyeri di
tempat suntikan selama 1 – 2 hari.
Efek samping:
kadang-kadang terdapat akibat samping yang lebih berat, seperti demam tinggi
atau kejang, yang biasanya disebabkan oleh unsur pertusisnya. Bila hanya
diberikan DT (difteria dan tetanus) tidak akan menimbulkan akibat samping
demikian.
- Indikasi kontra: imunisasi DPT tidak boleh diberikan kepada anak yang sakit parah, pernah menderita kejang atau pada penyakit gangguan kekebalan (defisiensi imunologik). Sakit batuk, pilek, demam atau diare yang sifatnya ringan, bukan merupakan indikasi kontra yang mutlak.
3. Vaksin Poliomielitis
Vaksinasi dan jenis vaksin: imunisasi
diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit poliomielitis. Terdapat
2 jenis vaksin dalam peredaran, yang masing-masing mengandung virus polio tipe
I, II dan III, yaitu:
(1) Vaksin yang
mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang sudah dimatikan (vaksin Salk).
Cara pemberian vaksin ini ialah dengan penyuntikan.
(2) Vaksin yang
mengandung virus polio tipe I, II, dan II yang masih hidup, tetapi dilemahkan
(vaksin Sabin). Cara pemberiannya ialah melalui mulut dalam bentuk pil atau
cairan.
Di Indonesia yang lazim diberikan
ialah vaksin jenis Sabin. Kedua jenis vaksin tersebut mempunyai kebaikan dan
kekurangannya. Kekebalan yang diperoleh sama baiknya. Karena cara pemberiannya
lebih mudah melalui mulut, maka lebih sering dipakai jenis Sabin. Di beberapa
negara dikenal “Tetra vaccine” yang mengandung 4 jenis vaksin, yaitu kombinasi
DPT dan polio, cara pemberiannya dengan suntikan.
Penjelasan penyakit:
Poliomielitis ialah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus polio.
Telah dikenal 3 jenis polio, yaitu tipe I, II dan III. Virus polio akan merusak
bagian anterior (bagian muka) susunan saraf tulang belakang. Penyakit ini
terutama banyak terdapat di negara yang sedang berkembang. Di Indonesia di
Semarang tahun 1954, di Medan tahun 1957. Gejala penyakit ini sangat
bervariasi, dari gejala ringan sampai timbul kelumpuhan, bahkan mungkin suatu
kematian. Gejala yang umum dan mudah dikenal ialah anak mendadak menjadi lumpuh
pada salah satu anggota geraknya, setelah ia menderita demam selama 2-5 hari.
Bila kelumpuhan itu terjadi pada otot pernafasan, mungkin anak akan meninggal
karena sukar bernafas. Penyakit ini dapat langsung menular dari seorang
penderita polio atau dengan melalui makanan.
Cara imunisasi: di
Indonesia dipakai vaksin Sabin yang diberikan melalui mulut. Imunisasi dasar
diberikan ketika anak berumur 2 bulan, sebanyak 2-3 kali. Jarak waktu antara 2
pemberian ialah 4-6 minggu. Sevaksinasi diberikan ketika anak berumur 1 ½ – 2
tahun, menjelang umur 5 tahun dan menjelang umur 10 tahun (lihatlah jadwal
imunisasi, hal 61). Vaksin polio dapat diberikan bersama dengan vaksin DPT.
Apabila sudah terkena penyakit polio masih
diperlukan imunisasi ulang karena mungkin anak yang menderita polio hanya
terjangkit oleh virus polio tipe I. Artinya, bila penyakitnya telah menyembuh
ia hanya mempunyai kekebalan terhadap virus polio tipe I, tetapi tidak
memungkinkan kekebalan terhadap jenis virus polio tipe II dan III. Sehingga
untuk mendapat kekebalan terhadap kedua jenis virus tersebut perlu diberikan
imunisasi ulang polio.
Kekebalan: Daya
proteksi vaksin polio sangat baik, yaitu sebesar 95-100%.
Reaksi imunisasi: biasanya
tidak ada, mungkin pada bayi akan terdapat berak-berak ringan.
Efek samping: Pada
imunisasi polio hampir tidak terdapat efek samping. Bila ada, mungkin berupa
kelumpuhan anggota gerak seperti pada penyakit polio sebenarnya.
Indikasi kontra: Pada anak
dengan diare berat atau yang sedang sakit parah, imunisasi polio sebaiknya
ditangguhkan. Demikian pula pada anak yang menderita penyakit defisiensi
kekebalan tidak diberikan polio. Alasan untuk tidak memberikan vaksin polio
pada keadaan diare berat ialah kemungkinan terjadinya diare yang lebih parah.
Pada anak dengan penyakit batuk, pilek, demam atau diare ringan, imunisasi
polio dapat diberikan seperti biasanya.
4. Vaksin Campak (Morbili)
Vaksinasi dan jenis vaksin: Imunisasi
diberikan untuk mendapat kekebalan terhadap penyakit campak secara aktif.
Vaksin campak mengandung virus campak hidup yang telah dilemahkan. Vaksin
campak yang beredar di Indonesia dapat diperoleh dalam bentuk kemasan kering
tunggal atau dalam kemasan kering di kombinasi dengan vaksin gondong/bengok
(mumps) dan rubela (campak Jerman). Di Amerika Serikat kemasan terakhir ini
dikenal dengan nama MMR (Measles Mumps-Rubela Vaccine).
Penjelasan penyakit: istilah
asing untuk penyakit campak ialah Marbilli (Latin), Measles
(Inggris). Penyakit ini sangat mudah menular. Kuman penyebabnya ialah sejenis
virus yang termasuk ke dalam golongan paramyxo virus. Gejala yang
khas yaitu timbulnya bercak-bercak merah di kulit (eksantem), 3-5 hari setelah
anak menderita deman, batuk atau pilek. Bercak merah ini mula-mula timbul di
pipi di bawah telinga. Kemudian menjalar ke muka, tubuh dan anggota gerak. Pada
stadium berikutnya bercak merah tersebut akan berwarna cokelat kehitaman dan
akan menghilang dalam waktu 7-10 hari kemudian. Tahap penyakit ketika timbul
gejala demam disebut stadium katarak. Tahap ketika kemudian timbul
bercak merah di kulit disebut stadium eksantem. Pada stadium katarak
penyakit campak sangat mudah menular kepada anak lain. Daya tular ini menjadi
berkurang pada stadium eksantem.
Pada waktu stadium katarak dan
stadium eksantem anak nampak sakit berat, lesu dan tidak ada nafsu makan.
Sebenarnya penyakit campak sendiri merupakan penyakit yang terbatas dan dapat
sembuh sendiri, tetapi sering diikuti oleh komplikasi yang cukup berat.
Komplikasi penyakit campak yang berbahaya ialah radang otak (ensefalitis atau
ensefalopati), radang paru, radang saluran kemih dan menurunnya keadaan gizi
anak. Terutama pada anak yang kurang gizi, sering terdapat komplikasi radang
paru yang mungkin dapat mengakibatkan kematian.
Cara imunisasi: Bayi yang
baru lahir telah mendapat kekebalan pasif terhadap penyakit campak dari ibunya
ketika ia dalam kandungan. Makin lanjut umur bayi, makin berkurang kekebalan
pasif tersebut. Waktu berumur 6 bulan biasanya bayi itu tidak mempunyai
kekebalan pasif lagi. Dengan adanya kekebalan pasif ini sangatlah jarang
seorang bayi menderita campak pada umur kurang dari 6 bulan.
Menurut WHO (1973) imunisasi campak
cukup dilakukan dengan 1 kali suntikan setelah bayi berumur 9 bulan. Lebih baik
lagi setelah ia berumur lebih dari 1 tahun. Karena kekebalan yang diperoleh
berlangsung seumur hidup, maka tidak diperlukan revaksinasi lagi. Di Indonesia
keadaannya berlainan. Kejadian campak masih tinggi dan sering dijumpai bayi
menderita penyakit campak ketika ia berumur antara 6-9 bulan, jadi pada saat
sebelum ketentuan batas umur 9 bulan untuk mendapat vaksinasi campak seperti
yang dianjurkan WHO. Dengan memperhatikan kejadian ini, sebenarnya imunisasi campak
dapat diberikan sebelum bayi berumur 9 bulan, misalnya pada umur antara 6-7
bulan ketika kekebalan pasif yang diperoleh dari ibu mulai menghilang. Akan
tetapi kemudian ia harus mendapat satu kali suntikan ulang setlah berumur 15
bulan.
Kekebalan: Daya proteksi
imunisasi campak sangat tinggi, yaitu 96-99%. Menurut penelitian, kekebalan
yang diperoleh ini berlangsung seumur hidup, sama langgengnya dengan kekebalan
yang diperoleh bila anak terjangkit campak secara alamiah.
Reaksi imunisasi: Biasanya
tidak terdapat reaksi akibat imunisasi. Mungkin terjadi demam ringan dan nampak
sedikit bercak merah pada pipi di bawah telinga pada hari ke 7-8 setelah
penyuntikan. Mungkin pula terdapat pembengkakan pada tempat suntikan.
Efek samping: Sangat
jarang, mungkin terdapat kejang yang ringan dan tidak berbahaya pada hari ke
10-12 setelah penyuntikan. Selain itu dapat terjadi radang otak, berupa
ensefalitis atau ensefalopati, dalam waktu 30 hari setelah imunisasi. Tetapi
kejadiannya sangat jarang, yaitu 1 diantara 1 juta suntikan. Angka ini jauh
lebih rendah dibandingkan dengan kejadian radang otak akibat penyakit campak
alamiah yang sebesar 1 diantara 250 kasus. Dengan demikian risiko untuk
terjadinya radang otak akibat infeksi alamiah 2.500 kali lebih besar daripada akibat
imunisasi.
Demikian pula dapat terjadi akibat
samping lain pada jaringan otak yang dikenal dengan istilah SSPE (subacute
sclerosing panencephalitis). Kejadiannya sangat jarang (1 diantara 1 juta
penderita campak).
Indikasi kontra: Menurut
WHO (1963), indikasi kontra hanya berlaku terhadap anak yang sakit parah, yang
menderita TBC tanpa pengobatan, atau yang menderita kurang gizi dalam derajat
berat. Vaksinasi campak sebaiknya juga tidak diberikan pada anak dengan
penyakit defisiensi kekebalan. Juga tidak diberikan pada anak yang menderita
penyakit keganasan atau sedang dalam pengobatan penyakit keganasan. Karena
belum terkumpulnya cukup informasi ilmiah, sebaiknya imunisasi campak pada ibu
hamil ditangguhkan. Pada anak yang pernah kejang, imunisasi campak dapat
diberikan seperti biasanya, asalkan dengan pengawasan dokter.
5. Vaksin Hepatitis B
Vaksinasi dan jenis vaksinasi: Vaksinasi dimaksudkan untuk mendapat
kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B. Penyakit ini dalam istilah
sehari-hari lebih dikenal dengan nama penyakit lever. Jenis vaksin ini
baru dikembangkan dalam waktu 10 tahun terakhir, setelah diteliti bahwa virus
hepatitis B mempunyai kaitan erat dengan terjadinya penyakit lever. Vaksin
terbuat dari plasma carrier hepatitis B yang sehat dengan cara pengolahan
tertentu. Dari bahan plasma tersebut dapat dipisahkan dan dimurnikan bagian
virus yang dapat dipakai dalam pembuatan vaksin lebih lanjut. Di kalangan
masyarakat dikhawatirkan pemakaian vaksin yang terbuat dari plasma karena
adanya berita akibat samping berupa penyakit AIDS. Namun setelah pemakaiannya
yang lebih dari 10 tahun, ternyata tidak didapatkan adanya efek samping yang
berarti. WHO melaporkan pula bahwa pemakaian vaksin tersebut cukup aman dan
bebas dari penyakit AIDS.
Setelah percobaan yang lamanya
bertahun-tahun, dalam 2-3 tahun terakhir ini telah beredar di pasaran vaksin
Hepatitis B yang pembuatannya menggunakan teknik rekombinasi DNA dengan memakai
bahan sel ragi. Dengan teknik ini diharapkan vaksin dapat diproduksi dalam jumlah
yang lebih banyak dan biaya pengolahannya lebih rendah, tanpa mengurangi mutu
vaksin. Dengan demikian harga yang cukup mahal ini dapat ditekan, sehingga
terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.
Penjelasan penyakit:
penyakit ini tersebar di seluruh dunia, tetapi angka kejadian yang paling
tinggi tercatat di negara Afrika dan Asia, khususnya di daerah Afrika Sahara
dan Asia Tenggara. Di Taiwan satu diantara 7 orang dilaporkan mengidap virus
hepatitis B dalam darahnya. Di Indonesia kejadiannya satu diantara 12-14 orang.
Selanjutnya dinyatakan bahwa 10% di antara pengidap virus tadi akan menjadi
carrier yang menahun, yang setelah beberapa tahun kemudian menunjukkan gejala
kanker hati atau sirosis hati. Virus hepatitis B yang masuk dalam tubuh akan
berkembang biak di dalam jaringan hati dan kemudian merusaknya. Gejala utama
penyakit hepatitis ialah kekuningan pada mata, rasa lemah, mual, muntah, tidak
nafsu makan dan demam.
Terhadap penyakit kanker
terjadinya penularan hepatitis B, di antaranya: (1) Melalui tusukan di kulit
dan jaringan tubuh lainnya, misalnya dengan suntikan biasa, tusukan anting,
tato, akupunktur, goresan luka, tindakan operasi termasuk perawatan gigi. (2)
Pemindahan cairan tubuh, misalnya melalui susu ibu, bersenggama, berciuman,
tindakan operasi. (3) Melalui darah atau plasma waktu transfusi. (4) Selama
masa janin dengan melalui uri, meskipun penularan cara ini jarang terjadi.
Cara imunisasi: Imunisasi aktif
dilakukan dengan cara pemberian suntikan dasar sebanyak 2 atau 3 kali dengan
jarak waktu 1 bulan. Selanjutnya dilakukan 1 kali imunisasi ulang dalam waktu
5-12 bulan setelah imunisasi dasar. Revaksinasi berikutnya diberikan setiap 5
tahun. Cara pemberian imunisasi dasar di atas mungkin berbeda, karena
tergantung dari jenis vaksin yang dibuat oleh pabrik. Misalnya imunisasi dasar
dengan memakai vaksin buatan Pasteur Prancis berbeda dengan penggunaan vaksin
MSD Amerika Serikat.
Di samping itu perlu diberikan
pula imunisasi pasif, khusus bagi bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang
mengidap virus hepatitis B. Caranya yaitu dengan pemberian imunoglobulin
khusus dalam waktu 12 jam setelah bayi lahir. Kemudian dalam waktu 7 hari
berikutnya bayi ini harus sudah mendapat imunisasi aktif dengan penyuntikan vaksin
hepatitis B. Cara pemberian imunisasi aktif selanjutnya sama seperti pemberian
kepada anak lain.
Mengingat daya tularnya yang
tinggi dari ibu kepada bayi, sebaiknya ibu hamil memeriksakan darahnya untuk
pemeriksaan hepatitis B, sehingga dapat dipersiapkan tindakan yang diperlukan
menjelang kelahiran bayi.
Kekebalan: Daya
proteksi vaksin hepatitis B cukup tinggi, yaitu berkisar antara 94-96%.
Reaksi imunisasi:
Reaksi imunisasi yang terjadi biasanya berupa nyeri pada tempat suntikan yang
mungkin disertai dengan timbulnya rasa panas atau pembengkakan. Reaksi ini akan
menghilang dalam waktu 2 hari. Reaksi lain yang mungkin terjadi ialah demam
ringan.
Efek samping:
Selama pemakaian 10 tahun ini, tidak dilaporkan adanya efek samping yang
berarti. Berbagai suara di masyarakat tentang kemungkinan terjangkit oleh
penyakit AIDS, merupakan pemberitaan yang dibesar-besarkan. Dengan penelitian
yang luas, WHO tetap menganjurkan pelaksanaan imunisasi hepatitis B.
Indikasi kontra:
imunisasi tidak dapat diberikan kepada anak yang menderita sakit berat.
Vaksinasi hepatitis B ini dapat diberikan kepada ibu hamil dengan nama aman dan
tidak akan membahayakan janin. Bahkan akan memberikan perlindungan kepada janin
selama dalam kandungan ibu maupun kepada bayi selama beberapa bulan setelah
lahir.
4. Sputum
Sputum
adalah bahan yang dikeluarkan dari paru,
bronchus, dan trachea melalui mulut. Biasanya juga disebut dengan expectoratorian.
(Dorland). Sputum diproduksi disel goblet yang berada pada resporatory tract.
Orang
dewasa normal bisa memproduksi mukus (sekret kelenjar) sejumlah 100 ml dalam
saluran napas setiap hari. Mukus ini digiring ke faring dengan mekanisme
pembersihan silia dari epitel yang melapisi saluran pernapasan. Keadaan
abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan fisik, kimiawi, atau
infeksi yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses pembersihan tidak
berjalan secara adekuat normal seperti tadi, sehingga mukus ini banyak
tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang, dan mukus akan
dikeluarkan dengan tekanan intrathorakal dan intraabdominal yang tinggi.
Dibatukkan, udara keluar dengan akselerasi yg cepat beserta membawa sekret
mukus yang tertimbun tadi. Mukus tersebut akan keluar sebagai sputum.
Sputum
yang dikeluarkan oleh seorang pasien hendaknya dapat dievaluasi sumber, warna,
volume, dan konsistensinya, karena kondisi sputum biasanya memperlihatkan
secara spesifik proses kejadian patologik pada pembentukan sputum itu sendiri.
Klasifikasi
bentukan sputum dan kemungkinan penyebabnya:
- Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan tenggorokan, kemungkinan berasal dari sinus, atau asluran hidung, bukan berasal dari saluran napas bagian bawah.
- Sputum banyak sekali dan purulen → proses supuratif (eg. Abses paru)
- Sputum yg terbentuk perlahan&terus meningkat → taanda bronkhitis/ bronkhiektasis.
- Sputum kekuning-kuningan → proses infeksi
- Sputum hijau → proses penimbunan nanah. Warna hijau ini dikarenakan adanya verdoperoksidase yg dihasikan oleh PMN dlm sputum. Sputum hijau ini sering ditemukan pada penderita bronkhiektasis karena penimbunan sputum dalam bronkus yang melebar dan terinfeksi.
- Sputum merah muda&berbusa → tanda edema paru akut.
- Sputum berlendir, lekat, abu-abu/putih → tanda bronkitis kronik.
- Sputum berbau busuk → tanda abses paru/ bronkhiektasis
0 komentar:
Posting Komentar